Media Sosial |
Haruskah isi berita saat ini hanya pendapat netizen di media sosial, tanpa sumber utama?
Jujur, sebagai pribadi yang menjunjung kebebasan
berpendapat, setiap pendapat netizen di media sosial harus dihargai. Baik
mereka berkata yang baik, buruk, hingga fitnah sekalipun semuanya tentu harus
diperhitungkan sebagai sebuah bentuk komunikasi yang dilindungi oleh
undang-undang. Namun apa jadinya bila sebuah pendapat oleh seorang netizen di
media sosial dijadikan sebuah berita?
Fenomena ini sudah bermunculan di berbagai kantor berita,
terutama kantor berita online dari skala kecil hingga besar. Seringkali para
wartawan mengambil sepatah kata netizen di media sosial dan mengaitkan pendapat
tersebut dengan isu yang sedang hangat belakangan ini. Tentunya untuk menarik
minat para pembaca dan mampu membaca pendapat khalayak melalui komentar mereka.
Tapi apakah layak?
Mengenai kelayakan pendapat ini dijadikan sebagai bahan berita, ada beberapa unsur
yang harus dipenuhi agar bisa menjadi nilai berita yang bermanfaat. Beberapa
syarat diantaranya adalah, pendapat tersebut harus keluar dari pelaku kejadian
tersebut, sehingga sesuai dengan kejadian sebenarnya. Pendapat ini juga menjadi
unsur utama dalam sebuah pembuktian kejadian, biasanya disebut dengan sumber
A1. Kemudian, dari rentetan cerita inilah kejadian tersebut dapat dijelaskan
secara gamblang, sehingga berita makin bernilai dibaca oleh para khalayak.
Suara dari profesional di bidangnya juga menjadi pendapat
netizen yang sangat dipertimbangkan untuk menulis berita. Dengan keilmuan
mereka dalam suatu bidang, atau sudah lama menggeluti bidang tertentu selama
bertahun-tahun, pendapat mereka menjadi sebuah pencerah dalam kemelut masalah.
Pendapat para profesional ini juga menengahi silang pendapat yang ada dalam
masyarakat, sehingga berbagai persoalan dapat terjawab dengan sempurna.
Tentunya pendapat ini juga sangat berharga dan sejalan dengan media masa yang
harus memberikan informasi bermanfaat.
Ada lagi sumber pendapat lainnya di media sosial yang bisa
dijadikan bahan berita, seperti para tokoh masyarakat. Dengan kedekatan dan
terkenal dikalangan masyarakat, tentu pendapatnya menjadi corong yang mewakili
suara masyarakat dan bisa dipertimbangkan bagi kelengkapan sebuah berita. Meski
mungkin tidak mengikuti kejadian sebenarnya, komentar mereka masih ingin
didengarkan oleh publik. Masih banyak sumber-sumber lainnya yang bisa dijadikan berita, selain tiga tokoh ini.
Tentu semua suara sumber ini bisa berwujud dalam perkataan,
gambar, hingga status di media sosial. Status yang bermanfaat tentu akan
tersebar sendirinya, karena kebanyakan orang Indonesia gemar membagikan
berbagai cerita baik. Tapi, kejadian ini juga mampu membuat orang lain
menderita, akibat kebiasaan mencela kepada pendapat yang bertentangan dengan
pemahaman mereka. Hal ini bisa diakibatkan kebiasaan berpikir pendek yang masih
merajalela pada pengguna media sosial dengan pola pikir yang tertutup,
Lalu, apakah semua pendapat bisa digunakan?
Suatu hari, saya pernah diminta untuk menuliskan berita dari
beberapa gambar yang ada dalam satu akun instagram seorang tokoh yang tiba-tiba
mendadak terkenal dalam sebuah kejadian. Tentu saja, mencari latar belakang
atau sumber gambar pertama menjadi sebuah kewajiban untuk menjaga bahwa berita
yang dihasilkan tetap dalam koridor yang benar. Saya pribadi memiliki prinsip
untuk menghasilkan informasi yang terjamin kebenarannya karena tidak ingin
fitnah.
Setelah diperiksa secara cermat dan rekan reporter lainnya memberikan pendapat yang sama, ada sedikit kejanggalan dalam
gambar tersebut karena hanya berisi informasi yang sedikit. Gambar tersebut
hanya menampilkan sebuah barang mewah, tanpa adanya keterangan gambar, ataupun
komentar orang lain. Asumsi yang timbul pertama kali adalah gambar barang mewah
tersebut benar milik orang tersebut.
Namun setelah ditelaah lebih jauh, gambar tersebut hanyalah “reposting”
dari akun lainnya yang tidak aktif. Jadi timbul sebuah pendapat kedua, bahwa
barang tersebut bukan miliknya, karena tidak menampilkan sang tokoh. Bisa saja
ia hanya menginginkan benda tersebut tanpa benar-benar membelinya di kehidupan
nyata.
Berdasarkan dua asumsi ini, saya lebih memilih untuk tidak
menuliskan berita tersebut karena tidak memiliki bukti yang kuat. Gambar akun
instagram yang bisa dipahami menjadi sebuah pendapat dari penggunanya ini,
tidak bisa menggambarkan bahwa ia benar-benar melakukan ataupun memiliki barang
mewah tersebut. Takut dengan adanya fitnah dan membuat permasalahan lebih besar,
saya memilih bicara kepada atasan dan tidak memproses berita ini lebih lanjut.
Untungnya sang atasan mengerti dan tidak memaksakan kehendaknya.
Ada lagi sebuah kejadian yang memaksa saya mengolah gambar
instagram menjadi sebuah berita. Kali ini datang dari seorang pesohor yang
sedang berwisata ke Indonesia. Meski tidak diposting secara pribadi di akun
instagramnya, ada seseorang yang berhasil mengikuti perjalanannya hingga ke
beberapa tempat dengan foto yang jelas.
Sang pesohor ini tampak menikmati keindahan Indonesia tanpa
didampingi siapapun, bahkan tidak membawa kamera. Tapi, pada akun instagram
yang berhasil mengikuti, ada serentetan foto yang mampu memberikan kisah kepada
khalayak bahwa ia benar-benar melihat pesohor ini. Bahkan di akhir perjalanan, ia
berhasil menerima tanda-tangan asli yang penggemar setia pesohor ini saja sulit
mendapatkannya.
Akhirnya saya berani menjadikan rangkaian foto ini menjadi
sebuah berita dengan beberapa asumsi. Pertama, sang pesohor benar-benar
tertangkap kamera secara jelas dan nyata. Kedua, foto yang ada lebih dari satu
buah, diperkuat dengan foto tanda tangan yang diberikan pada akhir kunjungannya
di Indonesia. Sang pengguna instagram juga cukup sering memasukkan fotonya dan ada percakapan di foto tersebut yang aktif
dibalas. Bisa disimpulkan bahwa kejadian ini nyata dan tidak akan menimbulkan
fitnah ketika diangkat.
Jadi pendapat mana yang bisa diangkat?
Saya pribadi memilih pendapat yang jelas dapat
dipertanggungjawabkan. Maksudnya adalah, sang netizen yang pendapatnya diangkat
aktif di media sosial, memiliki akun yang jelas, dan terdapat kejadian yang
sesuai dengan pendapatnya. Mengenai sumber A1, para profesional, dan para tokoh
masyarakat, tentu mereka menjadi filter pertama digunakan untuk membuat sebuah
berita. Bila tidak ada, cukuplah yang bisa dipertanggung jawabkan.
Untuk pemilihan tone kalimat juga harus diperhatikan. Jangan
sampai pendapat netizen yang diangkat bisa menjadi pemicu SARA dan kebencian
pada pihak yang lainnya. Karena sebuah tulisan yang memicu pertentangan, akan
mudah menyulut emosi orang lain untuk membantah pendapat tersebut. Kembali,
karena kebiasaan orang Indonesia yang suka berpikir pendek, tidak mencari
referensi hingga ke sumber utama.
Namun ada saja yang tidak sependapat.
Ya, seperti satu kejadian yang saya alami beberapa hari
lalu. Atasan meminta saya untuk membuat artikel dari sumber salah satu website
berita Indonesia. Isi beritanya adalah penampilan seorang pesohor yang berubah,
namun di badan beritanya hanya terdapat kumpulan pendapat netizen dari media
sosial. Tidak ada informasi lebih lanjut mengenai sang pesohor. Sepertinya sang
reporter hanya mengumpulkan pendapat, dan membuat judul sebagai kesimpulan
pendapat tersebut.
Sontak saya menolak karena tidak termasuk kriteria pendapat
yang bisa dipertanggung jawabkan. Namun atasan saya malah mengatakan bahwa saya
bodoh secara verbal. Ia berpendapat, bahwa pesohor adalah berita, dan berita
seperti ini layak untuk disampaikan kepada khalayak.
Saya sangat setuju dengan atasan saya mengenai pesohor yang
pantas dijadikan berita. Namun apakah hal seperti itu pantas bagi seorang
reporter, yang tugasnya adalah membedah lebih dalam sebuah permasalahan hingga
mendapatkan jawaban dari A1? Atau setidaknya memiliki derajat pendapat yang lebih tinggi dibanding sekedar netizen biasa?
Kalau menurut saya, berita yang “aneh” itu bisa jadi hasil
dari kebijakan perusahaan memerah para reporter agar menghasilkan berita lebih
banyak . Tanpa adanya proses pencarian berita, namun harus tetap memikat hati
pembaca yang juga malas mencari sumber paling terpercaya. Sehingga sang
reporter tidak sempat lagi untuk membahasnya lebih dalam, sesuai dengan tujuan
media untuk mencerdaskan masyarakat.
Bisa saja, sang reporternya yang malas untuk mencari sumber pertama. Sehingga ia tidak mau membuat berita pesohor tersebut lebih dalam dan bisa dipertanggung jawabkan. Padahal, vitalitas, keingin tahuan, dan kemampuan menelaah informasi menjadi senjata utama untuk memberikan informasi yang akurat bagi pembaca.
Bila kedengarannya sombong atau terlalu menggurui, saya
minta maaf. Karena inilah proses belajar untuk berpendapat. Banyak orang bilang, yang baru tahu sedikit akan berbicara lebih banyak, yang tahu lebih banyak akan bicara sedikit. Mungkin saya baru di tahap pertama.
Salam,
Akbar Muhibar.
1 comments:
Bener mas.. Pernah loh status saya yg viral dicatut di sebuah media online. Sebel saya ih, ..ngambil2 royalti orang wkwk
Masih ada tuh buka aja fb saya amanda ratih pratiwi
Post a Comment